Bandung, <a href="https://inplus.news">Inplus.News</a> &mdash;
DI tengah sorotan tajam publik terhadap kasus unggahan meme bergambar Mantan Presiden Joko Widodo dan Presiden Prabowo Subianto, suara dari kalangan pembela hukum dan akademisi kian nyaring menyuarakan satu hal: ekspresi bukan kriminal.
Adalah Arip Wampasena, S.H., kuasa hukum mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial &ldquo;SSS&rdquo;, yang menyatakan bahwa proses hukum terhadap kliennya mencerminkan kegagapan negara dalam menyikapi kritik sosial di era digital. Ia menilai tindakan aparat terlalu berlebihan dan mengabaikan pendekatan keadilan restoratif yang seharusnya dikedepankan.
<blockquote data-start="992" data-end="1241">
&ldquo;SSS bukan penjahat. Ia mahasiswi seni rupa yang tengah belajar menyalurkan kegelisahan sosial lewat karya visual. Meme yang diunggahnya bukan penghinaan, melainkan ekspresi satiris,&rdquo; ujar Arip dalam konferensi pers di Bandung, Minggu (11/5/2025).
</blockquote>
<h3 class="" data-start="1243" data-end="1286">Ekspresi Visual Tak Layak Dikriminalkan</h3>
Menurut Arip, meme yang diunggah &ldquo;SSS&rdquo; merupakan bentuk kritik dalam bahasa visual khas mahasiswa seni.
<blockquote data-start="1394" data-end="1595">
&ldquo;Jauh dari maksud buruk, nir dari bibit kedengkian. Justru ini momen penting untuk menilai bagaimana negara merespons kritik di ruang digital: apakah dengan hukuman, atau dengan pembinaan?&rdquo; tuturnya.
</blockquote>
Tim advokasi menyambut baik pernyataan Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi, yang menilai &ldquo;SSS&rdquo; cukup dibina dan tak perlu dihukum. Menurut Arip, hal tersebut merupakan sinyal bahwa Istana lebih memilih pendekatan edukatif daripada represif.
<blockquote data-start="1846" data-end="2019">
&ldquo;Kami berharap pesan dari Istana ini menjadi pertimbangan bagi aparat penegak hukum. Proses pidana sebaiknya dihentikan dan diganti dengan pembinaan atau dialog,&rdquo; ucapnya.
</blockquote>
<h3 class="" data-start="2021" data-end="2081">Kasus &ldquo;SSS&rdquo;, Cermin Batas Tipis Antara Kritik dan Pidana</h3>
Penangkapan &ldquo;SSS&rdquo; oleh Bareskrim Polri memantik diskusi luas soal batas kebebasan berekspresi, terutama di media sosial. Apakah kritik dalam bentuk meme layak dipenjara? Atau justru ini menjadi indikator bahwa kebebasan berekspresi digital di Indonesia sedang mengalami kontraksi?
Untuk membela kepentingan &ldquo;SSS&rdquo;, tim kuasa hukum yang terdiri dari enam advokat tengah mengajukan permohonan penangguhan penahanan sambil menyiapkan eksepsi dalam proses hukum. Mereka juga mengapresiasi dukungan dari berbagai pihak, termasuk civitas akademika ITB, Amnesty International, KontraS, dan Ikatan Orangtua Mahasiswa (IOM) ITB.
<h3 class="" data-start="2704" data-end="2758">Pentingnya Literasi Digital dan Demokrasi Inklusif</h3>
Lebih dari sekadar perkara hukum, kasus ini menyentuh aspek fundamental: bagaimana nilai-nilai demokrasi ditransmisikan dan dipahami. &ldquo;SSS&rdquo; adalah representasi generasi muda yang berani menyampaikan suara, meski kadang caranya tidak sesuai selera kekuasaan.
Alih-alih dihukum, pendekatan yang lebih membangun&mdash;seperti literasi digital dan dialog terbuka&mdash;dinilai jauh lebih tepat dan mendidik.
<blockquote data-start="3154" data-end="3314">
&ldquo;Kami tidak membenarkan semua bentuk kritik. Tapi yang kami perjuangkan adalah hak warga negara untuk bersuara tanpa rasa takut akan dipenjara,&rdquo; pungkas Arip.
</blockquote>
Kasus &ldquo;SSS&rdquo; bukanlah akhir, melainkan awal dari pertanyaan besar: seberapa siap negara menerima kritik, bahkan yang disampaikan dalam bentuk meme? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah demokrasi digital Indonesia di masa depan.
doni/Inplus.News

Mahasiswi ITB ditangkap karena unggah meme presiden. Kuasa hukum minta pendekatan edukatif, bukan hukuman pidana.

Meme Presiden, Mahasiswi ITB dan Batas Kritik Digital